Kamis, 25 Oktober 2012

Budaya Bebas oleh Lawrence Lessig

“free culture” not "free” as in “free beer”, but “free” as in “free speech,” “free markets,” “free trade,” “free enterprise,” “free will,” and “free elections.” - Lawrence Lessig 

Bagi saya film maker amatir dari kota malang dengan dana dan prasarana seadanya, terkadang membutuhkan musik ilustrasi bagi karya - karya saya, akan tetapi terkadang ada sebuah ketakutan untuk menggunakan lagu orang lain karena berkaitan dengan pelanggaran copyright. Setelah mengobrol ngalor ngidul bersama teman - teman, saya menemukan sebuah bentuk lisensi bernama Creative Commons, dan dari sinilah saya akhirnya mengenal "Budaya Bebas" dan gagasan - gagasan yang ditawarkan Lawrence Lessig.

Lawrence Lessig menuangkan idenya dalam sebuah buku yang berjudul asli Free Culture : How Big Media Uses Technogy And The Law To Lock Down And Control Creativity. secara umum Lessig mengilustrasikan beberapa hal seperti bagaimana budaya selalu diciptakan di masa lalu, mengambil semua hal yang berada dalam ranah publik dan industri berusaha mengontrolnya dengan sebuah hal yang dinamakan "Copyright" dan ini hanya menguntungkan segelintir orang saja dan bukan untuk keuntungan pencipta.(ketika kalian membaca buku ini,kalian akan menemukan banyak kasus menarik, salah satunya kasus Walt Disney yang menjadi kasus favorit saya)

Hari ini apa - apa yang berada dalam ranah publik semakin berkurang, ketika kita berpikir akan menggunakan karya orang lain dalam sebuah karya baru, mengubahnya, menggabungkannya dengan karya lain sebuah ketakutan muncul terkait pelanggaran hak cipta dan pelabelan diri kita sebagai seorang pembajak.

Dengan semakin tumbuhnya akses digital, yang menyebabkan kita semakin mudah mendapatkan dan meyebarkan informasi, mengakses konten dan terhubung dengan dunia, Lessig dalam bukunya menawarkan sebuah alternatif dalam penggunaan konten yang bernama Creative Commons.

Creative Commons merupakan sebuah lisensi bebas yang dapat digunakan pencipta diseluruh dunia untuk mengontrol langsung karyanya, bagaimana karyanya akan diperlakukan dan tentunya menawarkan kemudahan dalam hal akses atau penggunaan konten para pencipta tersebut.

Secara keseluruhan buku ini sangat menarik, memberikan sebuah pemahaman baru bagi masyarakat awam ataupun kita yang sering bersinggungan dengan hak cipta. Buku ini tidak mendikte dengan teori - teorinya, akan tetapi 395nya mengilustrasikan satu fenomena ke fenomena yang lain dengan menggunakan bahasa yang sederhana.

Buku ini dapat kita diunduh secara cuma - cuma dalam versi bahasa indonesia di http://kunci.or.id/wp-content/uploads/2012/02/budaya-bebas.pdf

Selamat membaca dan berbagi pemikiran baru!

Selasa, 22 Maret 2011

Untuknya dengan perasaan penuh luka

Hey, kamu.
Ya kamu! Kamu yang slalu ada untuku,
kamu yang selalu setia menungguku,
dan selalu menantikan adanya aku.
kamu yang tidak tahu seperti apa busuknya aku,
membuatmu hingga berujung pilu,
dan bertekuk lutut dihadapan egoku.

Hey, kamu yang ada disana.
jangan kamu kira aku apa adanya.
aku hanya mahluk tuhan yang tak sempurna,
mempunyai dua, tiga, lima bahkan berjuta muka,
saling berdisposisi secara tak terduga,
berganti peran sesuai naluri dan logika,
hingga hati dan rasamu berujung luka.

Hey, kamu yang semakin menyendiri.
aku bukannya bermain hati,
aku hanya tak ingin kau menanti,
membuat hatimu semakin bersemi,
semakin membuat sayatan di hati,
tenggelam dalam gelap yang semakin sunyi,
menjadi gila dan mulai menyakiti diri.

Hey, kamu yang semakin kelabu.
aku bukan tak ingin menyentuhmu,
membuat berbagai lagu dan berucap rindu,
lalu memelukmu hingga bersandar kaku.
aku hanya tak ingin aku mampu.
dan bukan tak ingin mencintaimu,
aku hanya tak ingin aku mau.

Hey, kamu yang tak tahu apa - apa.
aku mengerti apa yang kau rasa.
aku hanya menemukan dia.
dia yang selalu membuatku terpana,
tertawa dan gembira ketika bersamanya,
mengabaikan luka yang juga aku derita,
dan sebenarnya aku tak tahu apa ini cinta.

Hey, kamu yang tak bangun juga dari mimpi.
aku tak meminta kau untuk mengerti,
tak meminta maaf untuk diri ini,
aku hanya ingin kau berdiri dan bangkit sekali lagi,
melupakan fananya kata - kata yang terlontar dari mulut ini,
membunuh semua asa palsu yang pernah aku beri,
dan belajar mengakhiri hati sekali lagi.

hey, kamu yang berdebu dalam sendu.
aku tahu semua ini merusak mimpimu,
dan membuatmu semakin tertatih karena lakuku.
apa yang aku rasa tak bisa aku paksa,
yang bisa membuat ini menjadi ironi belaka,
dan membuat kita terpuruk tanpa cinta.
ijinkan aku pergi tanpa harus kembali,
tanpa perasaan aku harus menyesali,
dan merdeka memilih untuk siapa hati ini.

Minggu, 30 Januari 2011

ini hanya dongeng bernama "jingga"

namaku "jingga" entah mengapa aku diberi nama seperti itu, apa karna orang tua ku terlalu mengenang lagu pelangi pelangi ya? gag penting lah, yang jelas aku bahagia terlahir seperti ini, berparas lumayan, tinggi dan kata orang disekitarku aku memiliki kepribadian? entah apa itu yang disebut kepribadian.

malam ini aku berencana keluar kota, lebih tepatnya kembali ke desa, desa masa kecilku, desa dimana saat itu aku masih mengenakan setelan seragam celana merah dan seragam putih, dengan cepat aku bertemu teman - teman kecilku yang separuh lebihnya saja aku sudah lupa namanya,
"jingga, jingga, jingga!! sudah besar ya kamu!" "gimana kabarmu?" "sehatkah? gimana ibu bapak??" "masih inget aku kan, jingga?" begitulah pertanyaan yang terlontar dari orang yang kutemui sepanjang jalan ke desa itu, aku hanya melontar senyum, senyum yang semanis mungkin kubuat untukl melepaskan rasa bersalahku, tapi dalam hati kecilku aku meringis "maaf teman, aku lupa!"

aku berjalan menyusuri pematang sawah yang sama sekali tidak berubah, tetap asri dan segar seperti dahulu kala, kulanjutkan menari diantara kebun bunga tetanggaku dahulu, dimana pada waktu itu aku sering memetik bunganya hanya untuk kujadikan buket yang kubawa ke makam nenekku, "tetap asri" pikirku dalam hati.
kuteruskan perjalanan menuju ke tempat ku menimba ilmu dahulu, masih tetap sama, bersih meskipun sedikit gersang, ku masuk ke dalam ruangan kelasku dahulu saat duduk di tingkat empat, kucoba duduki bangku favoritku, sebelah kiri bawah dekat jendela dimana ku dapat melihat air sungai yang mengalir, suaranya membuatku merasa sangat nyaman. dan, bangku ini tenyata sudah tidak muat kududuki ya??

kulanjutkan perjalanan menuju persinggahanku dahulu, tempat dimana ku menangis, tertawa, sedih dan senang, tempat ku bercengkrama bersama keluarga besarku, kulewati pekarangan yang sudah tak tertata rapi, kulihat masih ada ayunan yang terbuat dari ban mobil bekas, sedikit rusak disana sini sih, kucoba menaikinya dan ternyata masih kuat! kuayun pelan - pelan tubuhku, terasa angin semilir menghembus rambut panjangku,
kupejamkan mata.. dalam dan sangat dalam... aku hanya bisa tersenyum.. dalam lamunanku ku melihat senyuman ayahku, ibuku yang merawatku sejak kecil, andai aku tak melewati 10 pada waktu itu.

ya! di usiaku yang kesepuluh memaksaku semua mimpi indah ini berakhir, membuatku harus terusir dari desa ini, bukan karena kenapa kenapa, tapi itu yang memang harus dilakukan.. nyala jingga dimana - mana yang membuat ini harus berakhir, terbayang pada masa itu, jingga kecil bermain lilin di kamarnya, dengan kue kecil, dan beberapa lilin kecil ditangannya, jingga kecil ingin memberi kado spesial untuk ulang tahun ibunya, tetapi tidak sengaja jingga kecil menjatuhkan kue yang dia pegang, secepat kilat kobaran jingga menjalar kemana - mana, besar, dan terus membesar! jingga kecil hanya diam dan menangis, kobaran jingga kian membesar! besar!! besar!! dan menari - nari menjadi besar!! jingga kecil sudah tidak kuat lagi untuk menangis, suaranya serak, matanya berkunang - kunang kemudian terpejam, sejenak dia terbangun dihalaman dekat ayunan ban mobil tersebut, erat dipelukan ibunya yang berteriak histeris "papa! papa! papa!!"

"nak!, ayo sadar!!" sebuah suara membuyarkan lamunanku, diikuti guncangan yang diterima tubuhku
"nak, bertahanlah!" suara itu semakin membesar, kenapa aku sangat berat untuk membuka mata, seakan ada satu ton beras yang menimpa mataku.
kucoba terus berusaha membuka mataku dan hanya tetes dan kobaran jingga yang kulihat, jingga kembali dimana - mana, "kakiku??, mana kakiku" aku setengah berteriak tak bersuara, kuarahkan pandanganku kebandanku dan.. kakiku terjepit dengan indahnya di sela - sela badan bus yang mengimpitku, berat dan begitu berat.
"oh, tidak.. jadi yang kulihat ini hanya fatamorgana saja? aku tak sempat merasakan kenyataannya??"
dan kini ku bisa melihat tubuhku sendiri berlumuran jingga, melayang dan terus melayang menuju kelangit jingga..
osh.. sial, ternyata bus yang kutumpangi masuk kedalam jurang, mungkin sang supir mengantuk karena menonton pertandingan siaran langsung piala dunia.
sial!! aku belum sempat merasakan kembali menjadi ke jingga kecil, mengulang semua hal indah yang pernah kuterima, oh TUHAN, jangan kau angkat aku kelangit jingga TUHAN! jangan!!! dan terlambat... malaikat berambut dan berpakaian jingga telah menantiku, dan begitupula dengan ayahku..

Jumat, 23 Juli 2010

ketika hujan turun pagi itu...

Ada seorang gadis kecil, terduduk diam dibawah pohon oak yang telah berusia ratusan tahun di sebuah padang rumput yang sangat luas, ditangan kirinya, dipegang erat sebuah benda yang sangat bernilai baginya, hadiah buatan tangan dari ayahnya sebelum gugur di medan perang.

Tak terasa hujan rintik mulai turun di tempat itu, tidak begitu kencang, tetapi cukup membuat gadis kecil itu membenarkan posisi duduknya. Dalam kesendiriannya itu tak ada satu guratan kegelisahan terpancar dari wajahnya, matanya yang berwarna biru langit, sangat cerah mengisaratkan hidupnya penuh dengan hari – hari bahagia.

Terdengar suara katak mengorek didekatnya, dia tersenyum kecil mendengarnya. Mungkin gadis kecil itu bergumam, mengapa katak tersebut tidak bersuara manusia sehingga dia bisa mengerti apa yang dikatakannya. Apakah katak itu sedang membicarakan dirinya ataukah bernyanyi indah untuk menemaninya.

Gadis kecil itu mendongakkan kepalanya keatas, mengambil nafas dalam – dalam, kemudian mengeluarkannya secara perlahan, menghirup udara segar yang selalu di nikmati ketika hujan turun, tercium juga aroma tanah yang tersiram hujan bergantian dengan bau bunga yang juga muncul di pagi itu, dia sangat menikmatinya, kembali dia tersenyum kecil, mungkin dia bergumam, mengapa ada bau yang seperti itu. Apakah bau itu juga bermaksud menemani kesendiriannya. Jika tidak mengapa bau itu terasa menyegarkan dan sangat enak dan menyenangkan untuk dinikmati.

“Tuk” ..

Tiba – tiba ada sesuatu mengenai kepalanya.

“Aduh”

Dia hanya bersuara kecil, kemudian meraba – raba sesuatu tersebut, mungkin terjatuh di sekitar kakinya. Dan dia mendapatkan sebuah benda kecil, keras meski tidak sekeras batu.

“Mungkin ini”

Dia bersuara pelan.

“Apa ya ini?”

Dia meneruskan rasa penasarannya.

“Oooh.. Mungkin ini buah dari pohon ini”

Gadis kecil ini berkata kecil.

Sambil memegangnya erat buah dari pohon tersebut dia kembali tersenyum dan kembali tenggelam dalam lamunannya, dia sedikit membanyangkan bagaimana nasib kepalanya yang mungil jika ternyata buah dari pohon oak ini sebesar buah semangka.

”Merakit mesin penenun hujan
Hingga terjalin, terbentuk awan
Semua tentang kebalikan
Terlukis, tertulis, tergaris di wajahmu

Keputusan yang tak terputuskan
Ketika engkau telah tunjukkan
Semua tentang kebalikan
Kebalikan di antara kita

Kau sakiti aku, kau gerami aku,
Kau sakiti, gerami, kau benci aku
Tetapi esok nanti kau akan tersadar
Kau temukan seorang lain yang lebih baik
Dan aku kan hilang, ku kan jadi hujan
Tapi takkan lama, ku kan jadi awan"

Gadis kecil itu menyenandungkan lagu dari frau yang berjudul mesin penenun hujan. Mengayunkan kepala mungilnya ke kanan dan ke kiri.

Semakin lama hujan kecil ini mulai berhenti, digantikan dengan sebuah pelangi yang indah, berwarna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu yang dia tahu dari cerita almarhumah ibunya ketika menceritakan dongeng ketika dia tidur.

Kemudian gadis itu bangkit, sedikit membereskan rok sepanjang kaki yang dia kenakan, dan mulai mempergunakan hadiah dari ayahnya, untuk jadi penunjuk jalan didepannya agar tidak tersandung dan jatuh ketika menuju tempat yang dinginkannya. Sesaat dia terhenyak kemudian muncul guratan – guratan kesedihan yang sedikit tak bisa dia sembunyikan. Gadis kecil itu kemudian menghela nafas panjang, dan kembali tersenyum menikmati langkah – langkah gelap didepannya.

Setelah beberapa langkah meniggalkan tempat dia duduk, dia berhenti, menoleh sejenak dan melambaikan tangannya ke arah pohon oak itu, bukan untuk pohon tua itu, tetapi untuk nenek tua berumur 70 tahun dan bermata biru langit yang duduk ditempatnya.

Ya... hujan pagi ini memberi cukup waktu bagi wanita tua renta itu kembali membayangkan masa kecilnya. Kembali mempertanyakan suara katak, aroma hujan dan bunga serta membayangkan bentuk buah kecil pohon oak tersebut dan juga warna pelangi yang berwarna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Mempertanyakan kegelapan yang ada dalam dirinya hingga 70 tahun ini. Mengapa gelap ini harus dialami oleh dia.

Diantara keriput matanya tersebut terurai air mata.

“Menangis?”

“Haruskah aku menangis?”

Dia berkata pelan pada dirinya sendiri.

Kemudian dihapusnya air mata tersebut, dia tersadar bahwa air mata itu cuma untuk yang membuat air mata itu sendiri. Hidup ini telah digariskan seperti adanya, Tuhan telah menganugerahkan gelap untuk hidupnya, dia terima tanpa sesal. Dan dalam gelapnya dia hanya bisa berikhtiar dan berdoa, meyakinkan diri bahwa akan datang terang meski entah itu kapan. Entah itu kapan...





*ini cerpen pertama saya yang diposting, masih belajar nulis sih, semoga dapat dinikmati*
salaaam..