Selasa, 22 Maret 2011

Untuknya dengan perasaan penuh luka

Hey, kamu.
Ya kamu! Kamu yang slalu ada untuku,
kamu yang selalu setia menungguku,
dan selalu menantikan adanya aku.
kamu yang tidak tahu seperti apa busuknya aku,
membuatmu hingga berujung pilu,
dan bertekuk lutut dihadapan egoku.

Hey, kamu yang ada disana.
jangan kamu kira aku apa adanya.
aku hanya mahluk tuhan yang tak sempurna,
mempunyai dua, tiga, lima bahkan berjuta muka,
saling berdisposisi secara tak terduga,
berganti peran sesuai naluri dan logika,
hingga hati dan rasamu berujung luka.

Hey, kamu yang semakin menyendiri.
aku bukannya bermain hati,
aku hanya tak ingin kau menanti,
membuat hatimu semakin bersemi,
semakin membuat sayatan di hati,
tenggelam dalam gelap yang semakin sunyi,
menjadi gila dan mulai menyakiti diri.

Hey, kamu yang semakin kelabu.
aku bukan tak ingin menyentuhmu,
membuat berbagai lagu dan berucap rindu,
lalu memelukmu hingga bersandar kaku.
aku hanya tak ingin aku mampu.
dan bukan tak ingin mencintaimu,
aku hanya tak ingin aku mau.

Hey, kamu yang tak tahu apa - apa.
aku mengerti apa yang kau rasa.
aku hanya menemukan dia.
dia yang selalu membuatku terpana,
tertawa dan gembira ketika bersamanya,
mengabaikan luka yang juga aku derita,
dan sebenarnya aku tak tahu apa ini cinta.

Hey, kamu yang tak bangun juga dari mimpi.
aku tak meminta kau untuk mengerti,
tak meminta maaf untuk diri ini,
aku hanya ingin kau berdiri dan bangkit sekali lagi,
melupakan fananya kata - kata yang terlontar dari mulut ini,
membunuh semua asa palsu yang pernah aku beri,
dan belajar mengakhiri hati sekali lagi.

hey, kamu yang berdebu dalam sendu.
aku tahu semua ini merusak mimpimu,
dan membuatmu semakin tertatih karena lakuku.
apa yang aku rasa tak bisa aku paksa,
yang bisa membuat ini menjadi ironi belaka,
dan membuat kita terpuruk tanpa cinta.
ijinkan aku pergi tanpa harus kembali,
tanpa perasaan aku harus menyesali,
dan merdeka memilih untuk siapa hati ini.

Minggu, 30 Januari 2011

ini hanya dongeng bernama "jingga"

namaku "jingga" entah mengapa aku diberi nama seperti itu, apa karna orang tua ku terlalu mengenang lagu pelangi pelangi ya? gag penting lah, yang jelas aku bahagia terlahir seperti ini, berparas lumayan, tinggi dan kata orang disekitarku aku memiliki kepribadian? entah apa itu yang disebut kepribadian.

malam ini aku berencana keluar kota, lebih tepatnya kembali ke desa, desa masa kecilku, desa dimana saat itu aku masih mengenakan setelan seragam celana merah dan seragam putih, dengan cepat aku bertemu teman - teman kecilku yang separuh lebihnya saja aku sudah lupa namanya,
"jingga, jingga, jingga!! sudah besar ya kamu!" "gimana kabarmu?" "sehatkah? gimana ibu bapak??" "masih inget aku kan, jingga?" begitulah pertanyaan yang terlontar dari orang yang kutemui sepanjang jalan ke desa itu, aku hanya melontar senyum, senyum yang semanis mungkin kubuat untukl melepaskan rasa bersalahku, tapi dalam hati kecilku aku meringis "maaf teman, aku lupa!"

aku berjalan menyusuri pematang sawah yang sama sekali tidak berubah, tetap asri dan segar seperti dahulu kala, kulanjutkan menari diantara kebun bunga tetanggaku dahulu, dimana pada waktu itu aku sering memetik bunganya hanya untuk kujadikan buket yang kubawa ke makam nenekku, "tetap asri" pikirku dalam hati.
kuteruskan perjalanan menuju ke tempat ku menimba ilmu dahulu, masih tetap sama, bersih meskipun sedikit gersang, ku masuk ke dalam ruangan kelasku dahulu saat duduk di tingkat empat, kucoba duduki bangku favoritku, sebelah kiri bawah dekat jendela dimana ku dapat melihat air sungai yang mengalir, suaranya membuatku merasa sangat nyaman. dan, bangku ini tenyata sudah tidak muat kududuki ya??

kulanjutkan perjalanan menuju persinggahanku dahulu, tempat dimana ku menangis, tertawa, sedih dan senang, tempat ku bercengkrama bersama keluarga besarku, kulewati pekarangan yang sudah tak tertata rapi, kulihat masih ada ayunan yang terbuat dari ban mobil bekas, sedikit rusak disana sini sih, kucoba menaikinya dan ternyata masih kuat! kuayun pelan - pelan tubuhku, terasa angin semilir menghembus rambut panjangku,
kupejamkan mata.. dalam dan sangat dalam... aku hanya bisa tersenyum.. dalam lamunanku ku melihat senyuman ayahku, ibuku yang merawatku sejak kecil, andai aku tak melewati 10 pada waktu itu.

ya! di usiaku yang kesepuluh memaksaku semua mimpi indah ini berakhir, membuatku harus terusir dari desa ini, bukan karena kenapa kenapa, tapi itu yang memang harus dilakukan.. nyala jingga dimana - mana yang membuat ini harus berakhir, terbayang pada masa itu, jingga kecil bermain lilin di kamarnya, dengan kue kecil, dan beberapa lilin kecil ditangannya, jingga kecil ingin memberi kado spesial untuk ulang tahun ibunya, tetapi tidak sengaja jingga kecil menjatuhkan kue yang dia pegang, secepat kilat kobaran jingga menjalar kemana - mana, besar, dan terus membesar! jingga kecil hanya diam dan menangis, kobaran jingga kian membesar! besar!! besar!! dan menari - nari menjadi besar!! jingga kecil sudah tidak kuat lagi untuk menangis, suaranya serak, matanya berkunang - kunang kemudian terpejam, sejenak dia terbangun dihalaman dekat ayunan ban mobil tersebut, erat dipelukan ibunya yang berteriak histeris "papa! papa! papa!!"

"nak!, ayo sadar!!" sebuah suara membuyarkan lamunanku, diikuti guncangan yang diterima tubuhku
"nak, bertahanlah!" suara itu semakin membesar, kenapa aku sangat berat untuk membuka mata, seakan ada satu ton beras yang menimpa mataku.
kucoba terus berusaha membuka mataku dan hanya tetes dan kobaran jingga yang kulihat, jingga kembali dimana - mana, "kakiku??, mana kakiku" aku setengah berteriak tak bersuara, kuarahkan pandanganku kebandanku dan.. kakiku terjepit dengan indahnya di sela - sela badan bus yang mengimpitku, berat dan begitu berat.
"oh, tidak.. jadi yang kulihat ini hanya fatamorgana saja? aku tak sempat merasakan kenyataannya??"
dan kini ku bisa melihat tubuhku sendiri berlumuran jingga, melayang dan terus melayang menuju kelangit jingga..
osh.. sial, ternyata bus yang kutumpangi masuk kedalam jurang, mungkin sang supir mengantuk karena menonton pertandingan siaran langsung piala dunia.
sial!! aku belum sempat merasakan kembali menjadi ke jingga kecil, mengulang semua hal indah yang pernah kuterima, oh TUHAN, jangan kau angkat aku kelangit jingga TUHAN! jangan!!! dan terlambat... malaikat berambut dan berpakaian jingga telah menantiku, dan begitupula dengan ayahku..