Jumat, 23 Juli 2010

ketika hujan turun pagi itu...

Ada seorang gadis kecil, terduduk diam dibawah pohon oak yang telah berusia ratusan tahun di sebuah padang rumput yang sangat luas, ditangan kirinya, dipegang erat sebuah benda yang sangat bernilai baginya, hadiah buatan tangan dari ayahnya sebelum gugur di medan perang.

Tak terasa hujan rintik mulai turun di tempat itu, tidak begitu kencang, tetapi cukup membuat gadis kecil itu membenarkan posisi duduknya. Dalam kesendiriannya itu tak ada satu guratan kegelisahan terpancar dari wajahnya, matanya yang berwarna biru langit, sangat cerah mengisaratkan hidupnya penuh dengan hari – hari bahagia.

Terdengar suara katak mengorek didekatnya, dia tersenyum kecil mendengarnya. Mungkin gadis kecil itu bergumam, mengapa katak tersebut tidak bersuara manusia sehingga dia bisa mengerti apa yang dikatakannya. Apakah katak itu sedang membicarakan dirinya ataukah bernyanyi indah untuk menemaninya.

Gadis kecil itu mendongakkan kepalanya keatas, mengambil nafas dalam – dalam, kemudian mengeluarkannya secara perlahan, menghirup udara segar yang selalu di nikmati ketika hujan turun, tercium juga aroma tanah yang tersiram hujan bergantian dengan bau bunga yang juga muncul di pagi itu, dia sangat menikmatinya, kembali dia tersenyum kecil, mungkin dia bergumam, mengapa ada bau yang seperti itu. Apakah bau itu juga bermaksud menemani kesendiriannya. Jika tidak mengapa bau itu terasa menyegarkan dan sangat enak dan menyenangkan untuk dinikmati.

“Tuk” ..

Tiba – tiba ada sesuatu mengenai kepalanya.

“Aduh”

Dia hanya bersuara kecil, kemudian meraba – raba sesuatu tersebut, mungkin terjatuh di sekitar kakinya. Dan dia mendapatkan sebuah benda kecil, keras meski tidak sekeras batu.

“Mungkin ini”

Dia bersuara pelan.

“Apa ya ini?”

Dia meneruskan rasa penasarannya.

“Oooh.. Mungkin ini buah dari pohon ini”

Gadis kecil ini berkata kecil.

Sambil memegangnya erat buah dari pohon tersebut dia kembali tersenyum dan kembali tenggelam dalam lamunannya, dia sedikit membanyangkan bagaimana nasib kepalanya yang mungil jika ternyata buah dari pohon oak ini sebesar buah semangka.

”Merakit mesin penenun hujan
Hingga terjalin, terbentuk awan
Semua tentang kebalikan
Terlukis, tertulis, tergaris di wajahmu

Keputusan yang tak terputuskan
Ketika engkau telah tunjukkan
Semua tentang kebalikan
Kebalikan di antara kita

Kau sakiti aku, kau gerami aku,
Kau sakiti, gerami, kau benci aku
Tetapi esok nanti kau akan tersadar
Kau temukan seorang lain yang lebih baik
Dan aku kan hilang, ku kan jadi hujan
Tapi takkan lama, ku kan jadi awan"

Gadis kecil itu menyenandungkan lagu dari frau yang berjudul mesin penenun hujan. Mengayunkan kepala mungilnya ke kanan dan ke kiri.

Semakin lama hujan kecil ini mulai berhenti, digantikan dengan sebuah pelangi yang indah, berwarna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu yang dia tahu dari cerita almarhumah ibunya ketika menceritakan dongeng ketika dia tidur.

Kemudian gadis itu bangkit, sedikit membereskan rok sepanjang kaki yang dia kenakan, dan mulai mempergunakan hadiah dari ayahnya, untuk jadi penunjuk jalan didepannya agar tidak tersandung dan jatuh ketika menuju tempat yang dinginkannya. Sesaat dia terhenyak kemudian muncul guratan – guratan kesedihan yang sedikit tak bisa dia sembunyikan. Gadis kecil itu kemudian menghela nafas panjang, dan kembali tersenyum menikmati langkah – langkah gelap didepannya.

Setelah beberapa langkah meniggalkan tempat dia duduk, dia berhenti, menoleh sejenak dan melambaikan tangannya ke arah pohon oak itu, bukan untuk pohon tua itu, tetapi untuk nenek tua berumur 70 tahun dan bermata biru langit yang duduk ditempatnya.

Ya... hujan pagi ini memberi cukup waktu bagi wanita tua renta itu kembali membayangkan masa kecilnya. Kembali mempertanyakan suara katak, aroma hujan dan bunga serta membayangkan bentuk buah kecil pohon oak tersebut dan juga warna pelangi yang berwarna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Mempertanyakan kegelapan yang ada dalam dirinya hingga 70 tahun ini. Mengapa gelap ini harus dialami oleh dia.

Diantara keriput matanya tersebut terurai air mata.

“Menangis?”

“Haruskah aku menangis?”

Dia berkata pelan pada dirinya sendiri.

Kemudian dihapusnya air mata tersebut, dia tersadar bahwa air mata itu cuma untuk yang membuat air mata itu sendiri. Hidup ini telah digariskan seperti adanya, Tuhan telah menganugerahkan gelap untuk hidupnya, dia terima tanpa sesal. Dan dalam gelapnya dia hanya bisa berikhtiar dan berdoa, meyakinkan diri bahwa akan datang terang meski entah itu kapan. Entah itu kapan...





*ini cerpen pertama saya yang diposting, masih belajar nulis sih, semoga dapat dinikmati*
salaaam..