Minggu, 30 Januari 2011

ini hanya dongeng bernama "jingga"

namaku "jingga" entah mengapa aku diberi nama seperti itu, apa karna orang tua ku terlalu mengenang lagu pelangi pelangi ya? gag penting lah, yang jelas aku bahagia terlahir seperti ini, berparas lumayan, tinggi dan kata orang disekitarku aku memiliki kepribadian? entah apa itu yang disebut kepribadian.

malam ini aku berencana keluar kota, lebih tepatnya kembali ke desa, desa masa kecilku, desa dimana saat itu aku masih mengenakan setelan seragam celana merah dan seragam putih, dengan cepat aku bertemu teman - teman kecilku yang separuh lebihnya saja aku sudah lupa namanya,
"jingga, jingga, jingga!! sudah besar ya kamu!" "gimana kabarmu?" "sehatkah? gimana ibu bapak??" "masih inget aku kan, jingga?" begitulah pertanyaan yang terlontar dari orang yang kutemui sepanjang jalan ke desa itu, aku hanya melontar senyum, senyum yang semanis mungkin kubuat untukl melepaskan rasa bersalahku, tapi dalam hati kecilku aku meringis "maaf teman, aku lupa!"

aku berjalan menyusuri pematang sawah yang sama sekali tidak berubah, tetap asri dan segar seperti dahulu kala, kulanjutkan menari diantara kebun bunga tetanggaku dahulu, dimana pada waktu itu aku sering memetik bunganya hanya untuk kujadikan buket yang kubawa ke makam nenekku, "tetap asri" pikirku dalam hati.
kuteruskan perjalanan menuju ke tempat ku menimba ilmu dahulu, masih tetap sama, bersih meskipun sedikit gersang, ku masuk ke dalam ruangan kelasku dahulu saat duduk di tingkat empat, kucoba duduki bangku favoritku, sebelah kiri bawah dekat jendela dimana ku dapat melihat air sungai yang mengalir, suaranya membuatku merasa sangat nyaman. dan, bangku ini tenyata sudah tidak muat kududuki ya??

kulanjutkan perjalanan menuju persinggahanku dahulu, tempat dimana ku menangis, tertawa, sedih dan senang, tempat ku bercengkrama bersama keluarga besarku, kulewati pekarangan yang sudah tak tertata rapi, kulihat masih ada ayunan yang terbuat dari ban mobil bekas, sedikit rusak disana sini sih, kucoba menaikinya dan ternyata masih kuat! kuayun pelan - pelan tubuhku, terasa angin semilir menghembus rambut panjangku,
kupejamkan mata.. dalam dan sangat dalam... aku hanya bisa tersenyum.. dalam lamunanku ku melihat senyuman ayahku, ibuku yang merawatku sejak kecil, andai aku tak melewati 10 pada waktu itu.

ya! di usiaku yang kesepuluh memaksaku semua mimpi indah ini berakhir, membuatku harus terusir dari desa ini, bukan karena kenapa kenapa, tapi itu yang memang harus dilakukan.. nyala jingga dimana - mana yang membuat ini harus berakhir, terbayang pada masa itu, jingga kecil bermain lilin di kamarnya, dengan kue kecil, dan beberapa lilin kecil ditangannya, jingga kecil ingin memberi kado spesial untuk ulang tahun ibunya, tetapi tidak sengaja jingga kecil menjatuhkan kue yang dia pegang, secepat kilat kobaran jingga menjalar kemana - mana, besar, dan terus membesar! jingga kecil hanya diam dan menangis, kobaran jingga kian membesar! besar!! besar!! dan menari - nari menjadi besar!! jingga kecil sudah tidak kuat lagi untuk menangis, suaranya serak, matanya berkunang - kunang kemudian terpejam, sejenak dia terbangun dihalaman dekat ayunan ban mobil tersebut, erat dipelukan ibunya yang berteriak histeris "papa! papa! papa!!"

"nak!, ayo sadar!!" sebuah suara membuyarkan lamunanku, diikuti guncangan yang diterima tubuhku
"nak, bertahanlah!" suara itu semakin membesar, kenapa aku sangat berat untuk membuka mata, seakan ada satu ton beras yang menimpa mataku.
kucoba terus berusaha membuka mataku dan hanya tetes dan kobaran jingga yang kulihat, jingga kembali dimana - mana, "kakiku??, mana kakiku" aku setengah berteriak tak bersuara, kuarahkan pandanganku kebandanku dan.. kakiku terjepit dengan indahnya di sela - sela badan bus yang mengimpitku, berat dan begitu berat.
"oh, tidak.. jadi yang kulihat ini hanya fatamorgana saja? aku tak sempat merasakan kenyataannya??"
dan kini ku bisa melihat tubuhku sendiri berlumuran jingga, melayang dan terus melayang menuju kelangit jingga..
osh.. sial, ternyata bus yang kutumpangi masuk kedalam jurang, mungkin sang supir mengantuk karena menonton pertandingan siaran langsung piala dunia.
sial!! aku belum sempat merasakan kembali menjadi ke jingga kecil, mengulang semua hal indah yang pernah kuterima, oh TUHAN, jangan kau angkat aku kelangit jingga TUHAN! jangan!!! dan terlambat... malaikat berambut dan berpakaian jingga telah menantiku, dan begitupula dengan ayahku..